SELAMAT DATANG & TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Selasa, 31 Januari 2012

Hikmah Sholawat Nabi

uhammad Saw. adalah mutiara yang sangat indah bagi alam semesta ini. Beliau hadir di tengah-tengah kita atas rahmat Allah Swt. Oleh karena itu, kita jangan meremehkan kemuliaannya dan jangan pula melupakan posisi dan kedudukannya di sisi Allah
dan para malaikat di seluruh lapisan langit. Beliau adalah insan yang lahir dari tengah-tengah kita, tetapi beliau bukan insan biasa. Beliau adalah insan yang menggenggam seluruh alam semesta.
Berkenaan dengan kedudukannya yang mulia ini di sisi Allah, para malaikat dan orang-orang yang beriman ini, Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS al-Ahzâb [33]: 56).
Untuk memahami ayat ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut :
  1. Shalawat jika dinisbatkan kepada Allah berarti pemberian rahmat dan kehidhaan-Nya kepada Nabi Saw.; jika dinisbatkan kepada malaikat berarti doa dan permohonan ampunan baginya; dan jika dinisbatkan kepada kaum Mukmin berarti doa dan pengagungan kepadanya. (Al-Bashâ'ir, jil. 32. hal. 237).
  2. Frase yushallûna adalah kata kerja dalam bahasa Arab dalam bentuk mudhâri‘ yang menunjukkan pekerjaan yang akan dan sedang berlangsung. Ini artinya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepadanya secara terus-menerus dengan shalawat yang kekal dan abadi.
  3. Para mufasir berbeda pendapat dalam menjabarkan perbedaan antara shallû dan sallimû. Namun, ditinjau dari segi bahasa dan dilihat dari lahiriah ayat al-Quran tersebut, shallû bisa berarti perintah untuk memohon rahmat dan shalawat untuk Nabi Saw., sedangkan sallimû berarti perintah agar patuh dan taat (taslîm) pada perintah-perintah Nabi Saw., seperti yang terdapat dalam surah al-Nisâ’ ayat 65: kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.Selain itu, kita temukan dalam riwayat dari Ja‘far ash-Shâdiq as., bahwa Abu Bashir bertanya kepadanya, “Saya sudah tahu shalawat kami kepada Nabi Saw., tetapi apa yang dimaksud dengan taslîm?” Beliau menjawab, “Yaitu kepatuhan kepadanya dalam segala perintah.”Atau, bisa juga taslîm itu artinya salam kepada Nabi Saw. dengan membaca Assalâmu ‘alaika yâ rasûlallâh (salam sejahtera bagimu, wahai Rasulullah), dan sebagainya, yang berarti memohon kesejahteraan bagi Nabi Saw. dari Allah Swt. Abu Hamzah al-Tsumali meriwayatkan dari Ka‘ab (seorang sahabat Nabi Saw.): Ketika ayat ini turun, kami berkata [kepada Nabi Saw.], “Kami sudah tahu bagaimana bersalam kepadamu, tetapi bagaimana kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah Allâhumma shalli ‘alâ muhammad wa âli muhammad kamâ shallaita ‘alâ ibrâhîm wa âli ibrâhîm innaka hamîdum-majîd, wa bârik ‘alâ muhammad wa âli muhammad ka mâ bârakta ‘alâ ibrâhîm wa âli ibrâhîm innaka hamîdum-majîd (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia; dan anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah menganugerahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia).”Bertolak dari hadis ini, menjadi jelas tentang bagaimana bershalawat kepada Nabi Saw., dan demikian pula makna salam. Meskipun demikian, dua makna salam ini benar-benar tampak berbeda, kecuali jika kita mengembalikan kedua makna itu ke satu hal, yaitu taslîm kepada Nabi Saw. dalam ucapan dan tindakan, karena orang yang bersalam kepadanya dan berharap kepada Allah atas keselamatannya akan merindukan selalu beliau dan mengenali beliau sebagai seorang Nabi yang ketaatan kepadanya merupakan sebuah tuntutan dan keharusan.
  4. Termasuk yang perlu diperhatikan, bahwa banyak hadis yang menyebutkan tatacara bershalawat kepada Nabi Saw. menyertakan juga shalawat kepada keluarga Muhammad. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‘i, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan lain-lain—seperti dikutip dalam al-Durr al-Mantsûr—dari Ka‘ab bin ‘Ujrah, bahwa seseorang datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, “Bersalam kepadamu, kami sudah tahu. Tetapi bagaimana bershalawat kepadamu?” Nabi Saw. menjawab, “Ucapkanlah, ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia; dan anugerahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah menganugerahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mahamulia.’” Dalam tafsir al-Durr al-Mantsûr juga dikutip hadis-hadis lain yang semuanya menjelaskan kewajiban menyertakan keluarga Muhammad Saw. ketika bershalawat kepada beliau. Hadis-hadis yang menjelaskan hal ini juga terdapat dalam kitab-kitab hadis lain yang diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi Saw., seperti Ibn ‘Abbas, Thalhah, Abu Sa‘id al-Khudri, Abu Hurairah, Abu Mas‘ud al-Anshari, Buraidah, Ibn Mas‘ud, dan Ka‘ab bin ‘Ujrah.

Lebih jauh, ayat di atas berbicara tentang keagungan Rasulullah Saw. dan hukum-hukum yang menjadikan beliau istimewa. Allah menyeru kaum Mukmin agar bershalawat kepadanya dan memberikan penghormatan untuk meneladaninya. Penanggulangan lingkungan sosial tidak akan menjadi sempurna kecuali melalui shalawat kepada Rasulullah Saw. dan kepatuhan kepadanya. Lalu, apa makna shalawat kepada Nabi Saw. Barangkali, asal makna shalawat adalah bersimpati (ta‘aththuf) dan berbelas kasih (tara’’uf). Adapun shalawat kepada Nabi Saw. adalah doa agar Allah menyayanginya dan mengantarkannya ke kedudukan terpuji seperti yang telah Dia janjikan. (Min Hudâ al-Qur'ân, jil. 10, hal. 380)
Belas kasih Allah kepada manusia adalah dengan memberinya hidayah dan kenikmatan. Shalawat-Nya kepada Nabi Saw. adalah Dia mengabulkan doa untuknya dan melalui perantaraannya. Shalawat malaikat kepada Rasulullah Saw. berarti doa untuknya di sisi Tuhan mereka dan pertolongan kepada para pengikutnya. Adapun shalawat kaum Mukmin yang diwajibkan oleh Allah kepada kita dalam shalat kita dan disunnahkan dalam setiap waktu berarti mendoakannya dan mendekat ke maqamnya yang mulia.

Dalam hal ini, terdapat banyak hikmah yang kita dapatkan, dan hikmah yang paling utama di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Perbaikan akidah Muslim. Pada saat seorang Muslim harus mengagungkan Nabinya, ia tidak boleh melakukan tindakan yang berlebihan sehingga menodai agama, tentu saja. Memuliakan Nabi Saw. melalui doa kepada Allah Swt. adalah agar hubungannya dengan Tuhannya tidak terputus. Dengan mengesakan Allah dan cinta yang besar kepada-Nya, seorang Muslim memuliakan dan mencintai Rasulullah Saw. Pada saat yang sama, hubungannya dengan Rasulullah Saw. dan wasilahnya untuk mendekat kepada Allah tetap terjaga. Tanpa penghormatan atau kepatuhan kepadanya dan kepada orang-orang yang telah diperintahkan oleh Rasulullah Saw. agar diikuti, dan tanpa kecintaan kepada Rasulullah Saw. dan orang-orang yang diperintahkan oleh beliau untuk dicintai tidak mungkin seorang Muslim bisa mendekat kepada Tuhannya. Demikianlah, kalimat shalawat kepada Rasulullah Saw. dan keluarganya membingkai akidah Islam, dan itu berarti tambahan pendekatan diri kepada Allah tetapi dengan Rasulullah Saw. dan tambahan cinta kepada Rasulullah Saw. tetapi atas nama Allah Swt.
  2. Hal itu merupakan kewajiban kita terhadap Rasulullah Saw. yang telah berjuang sungguh-sungguh untuk kepentingan umat manusia dan memikul beban derita untuk menyampaikan hidayah kepada kita. Bahkan, Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Tak pernah ada seorang nabi pun yang disakiti seperti yang kualami.” Maka, syukur yang paling utama yang kita persembahkan kepada Nabi Saw. atas hidayah dan kebaikan yang kita raih, yang kita dapatkan berkat perjuangan beliau, adalah bershalawat kepadanya, yakni mendoakannya.
  3. Manfaat dan kebaikan dari shalawat kita kepadanya akan kembali lagi kepada kita, sebagaimana doa kepada seorang Mukmin. Ja‘far ash-Shâdiq as. berkata, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya dapat mendatangkan rezeki dan menghindarkan bencana, dan malaikat berkata kepadanya, ‘Kamu mendapatkan dua kali lipatnya.’” Ketika kita berdoa kepada Allah untuk Rasulullah Saw. agar Dia meninggikan derajatnya dalam aspek spiritual dan material, maka derajat kita pun sebagai pengikutnya akan terangkat. Dalam hadis disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa bershalawat kepadaku, Allah dan para malaikat bershalawat kepadanya. Oleh karena itu, siapa yang ingin membacanya sedikit, silakan, dan siapa yang ingin membacanya banyak, juga silakan.”Rasulullah Saw. adalah pemimpin kita di dunia dan akhirat. Setiap kali derajatnya terangkat dan maqamnya menjadi tinggi, maka derajat kaum Mukmin pun menjadi tinggi dan terangkat karenanya. Ja‘far ash-Shâdiq as. berkata, “Seseorang datang kepada Nabi Saw. dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya persembahkan shalat saya untukmu. Oh tidak, bahkan separuh shalat saya untukmu. Oh tidak, bahkan seluruh shalat saya untukmu.’ Maka, Rasulullah Saw. bersabda, ‘Jika begitu, kepentingan dunia dan akhiratmu dicukupi.’”Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa pada suatu hari, Rasulullah Saw. datang dan kabar gembira tampak pada wajah beliau. Nabi Saw. bersabda, “Malaikat Jibril telah datang kepadaku. Ia berkata, ‘Tidakkah kamu ridha, wahai Muhammad, bahwa tak seorang pun dari umatmu yang bershalawat kepadamu satu kali melainkan aku bershalawat kepadanya sepuluh kali, dan tak seorang pun dari umatmu yang bersalam kepadamu satu kali melainkan aku bersalam kepadanya sepuluh kali.”Bahkan di dunia ini, setiap kali derajat beliau terangkat maka terangkat pula derajat kaum Muslim seluruhnya.
  4. Shalawat kepada Nabi Saw. merupakan salah satu wasilah kemakbulan doa. Seorang hamba kadang-kadang berdoa kepada Tuhannya seribu kali, tetapi doanya tidak akan dikabulkan sebelum ia bershalawat kepada Nabi Saw. di awal dan akhirnya. Rasulullah Saw. bersabda, “Shalawat kalian kepadaku adalah kemakbulan doa-doa kalian dan zakat amal-amal kalian.”
Imam ‘Alî as. berkata, “Doa akan senantiasa terhalang sebelum disertai dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Ja‘far ash-Shâdiq as berkata, “Barangsiapa memiliki hajat kepada Allah Swt., hendaklah ia memulai dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, lalu menyampaikan hajatnya, lalu menutupnya dengan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Sebab, Allah terlalu mulia untuk menerima dua tepi dan meninggalkan tengahnya, karena shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad tidak akan terhalang dari-Nya.”

Tujuan langsung shalawat ini adalah penghormatan kepada Rasulullah Saw., mengambil teladan darinya, dan menjadikannya pemimpin. Dengan shalawat pula, kaum Mukmin menunjukkan cinta mereka kepada Rasulullah Saw. Sehingga semakin sering dan semakin banyak mereka bershalawat kepada Nabi, semakin tumbuh dan semain besar pula cinta mereka kepada beliau. Cinta inilah yang menjadi modal utama mereka dalam meneladani, menaati, dan mengikuti sunnah beliau. Hal itu ditegaskan Allamah al-Majlisi dalam bukunya Bihâr al-Anwâr, seperti berikut:

[AWAL KUTIPAN]

Betapa agung, hamba yang beriman menyambut seruan Tuhannya agar bershalawat kepada Nabi Saw. sehingga ia bergabung dalam partai Allah tempat bergabung para malaikat yang didekatkan. Namun, tidak semua shalawat bisa menghasilkan penggabungan seperti ini, melainkan hanya shalawat yang diucapkan dengan lisannya seraya mengetahui batasan-batasannya dalam akalnya, memasrahkan diri padanya, dan menundukkan anggota-anggota badannya. Jika ia mendengar khathib (atau siapapun) berkata, “Bersabda Rasulullah Saw…” maka ia harus bershalawat kepadanya dengan lisannya, memahami shalawat itu dengan makrifatnya dan bersiap-siap untuk mengaplikasikannya dalam dirinya. Kemudian, ia beranjak untuk mengamalkan kandungannya dan segala tuntutannya.

Secara psikologis, jika seseorang mendoakan orang lain yang tidak hadir di hadapannya, maka ia akan mencintainya sekalipun sekiranya di antara mereka terdapat permusuhan. Hal itu karena, di satu sisi, doa dapat melunakkan hati si pendoa kepada pihak lain yang didoakan, dan di sisi lain, orang yang didoakan akan merasakan kecenderungan dan bahkan cinta kepada orang yang mendoakannya sekalipun bila si pendoa tidak melakukan apapun selain mendoakan, karena hati menyaksikannya. Maka hati dengan hati bertaut di alam gaib sebagaimana hati dengan hati bertaut di alam nyata.
Ketika kita bershalawat kepada Rasulullah Saw., maka cinta dan penghormatan kepadanya dalam hati kita menjadi semakin besar sehingga kita menjadi kekasihnya. Keadaan ini dapat memudahkan kita untuk taat kepadanya dan meneladaninya. Saya pernah membaca dalam buku-buku psikologi, bahwa setelah beberapa kali dilakukan pengujian, terbukti bahwa cinta merupakan faktor yang paling utama dalam ketaatan. Seorang anak, misalnya, lebih patuh kepada ibunya karena cinta kepadanya, bukan karena takut kepadanya. Sebaliknya, ibu memberikan kasih sayang dan pengorbanan yang luar biasa kepada anaknya semata-mata karena cintai kepada buah hatinya.
[AKHIR KUTIPAN]

-------------
Daftar Pusataka
1.    Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Alî al-Thusi, Al-Tibyân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Qum: Maktabah al-A‘lâm al-Islâmî, cet. 1, 1409 H.
2.    Aminuddin Abu ‘Alî al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabrisi, Majma‘ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, 1379 H.
3.    Mir Sayid ‘Alî al-Ha’iri al-Thihrani, Muqtaniyât al-Durar wa Mutaqithât al-Tsamar, Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1337 HS.
4.    Sayid Muhammad Husain al-Thabathaba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, Teheran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, cet. 3, 1397 H.
5.    Syaikh Muhammad al-Sabziwari al-Najafi, Al-Jadîd fî Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Ta‘ârif li al-Mathbû‘ât, cet. 1, 1402 H.
6.    Muhammad Husain Fadhlullah, Min Wahy al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Zahrâ’ li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, cet. 2.
7.    Muhammad Jawad Mughniyyah, Tafsîr al-Kâsyif, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, cet. 3, 1981 M.
8.    Nashir Makarim al-Syirazi, Al-Amtsal fî Tafsîr Kitâbillâh al-Munzal, Beirut: Mu’assasah al-Bi‘tsah li al-Mathbû‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, cet. 1,1412H 9.    Sayid Muhammad Taqi al-Madrasi, Min Hudâ al-Qur’ân, Dâr al-Hudâ, cet. 1, 1406 H.
10.     ‘Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsûr, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. 1, 1993 M.
11.    Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi al-Majlisi, Bihâr al-Anwâr al-Jâmi‘ah li Durar Akhbâr al-A’immah al-Athhâr as, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, cet. 1, 1412 H.
12.    Ya'subuddin Rusghar Jauwaibari, Tafsîr Al-Bashâ'ir, Qum: Al-Mathba'ah Al-Islâmiyyah, 1399.
Read More

Pendiri NU


Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. 
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.

Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah
Pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas;
ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern;
keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier.
Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. 



(sumber : http://sabilulhuda.org/index.php?option=com_content&view=article&id=112:-kyai-haji-hasyim-asyari-pendiri-nu&catid=46:tulisan-dari-santri&Itemid=83 )
Read More
Design by Sihabbil Habibi Visit Original Post Islamic2 Template