SELAMAT DATANG & TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Senin, 30 Januari 2012

Perjalanan ISHARI Cabang Bangil Ke Jakarta

Puncak peringatan hari lahir (Harlah) ke-82 NU di stadion utama Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu (31/1), menjadi pengalaman indah bagi pengurus cabang Ishari Bangil. Sebab, mereka tampil sebagai salah satu pengisi acara di momen besar itu.

Harlah ke-82 NU dirayakan besar-besaran di stadion utama GBK Jakarta. Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi mengundang Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (Ishari) Bangil untuk tampil di acara itu. Undangan tersebut menjadi tantangan sekaligus kehormatan.

Awalnya, anggota yang diharapkan datang sebanyak 1.000 orang. Jumlah yang tidak sedikit. Para Pengurus Cabang (PC) dan Majelis Wakil Cabang NU Bangil kemudian berembug membicarakannya.

Hasilnya, mereka hanya sanggup mengumpulkan 200 orang. Itulah kekuatan maksimal yang bisa dikerahkan. Dua ratus orang itu berasal dari masing-masing Anak Cabang. Antara lain, Prigen, Pandaan, Rembang, Bangil, Beji, dan Gempol. “Kami menyebutnya Priparbabeg,” tutur Ketua PC Ishari Bangil H Murtadji Junaedi saat ditemui di kediamannya kemarin.

Dua ratus orang itu kemudian berbagi tugas. Ada yang kebagian menjadi hadi atau vokalis. Dalam bidang ini dipasrahkan kepada Sanafi dan Rahmat. Tiga belas orang lainnya kebagian menabuh rebana. Sedangkan sisanya ikut menyemarakkannya. Belum lagi tujuh orang yang mendapat tugas mengurusi administratif perjalanan mereka.

Setelah mendapat tugas masing-masing, mereka langsung menjalani latihan. Mereka latihan dua hari sekali. Sampai akhirnya, waktu yang ditentukan pun tiba. Mereka berangkat Jumat (1/2) di depan Masjid Jamik, Bangil. “Kami latihan enam kali selama di sini (Bangil, Red)” kata Murtadji.

Ustd. Syanafi Arsyad sebagai dewan hadi pun juga sangat bersemangat untuk melatih para penerbang dari bangil ini ke gelora bung karno.

Pemberangkatan mereka cukup istimewa. Mereka dilepas langsung oleh Bupati Pasuruan Jusbakir Aldjufri. Empat bus meluncur ke Jakarta. “Kami bangga karena menjadi satu-satunya PC Ishari yang diundang dalam acara tersebut,” imbuh Murtadji. 
Akhirnya setelah sholat jum'at di masjid jami' Bangil akhirnya para penerbang ishari cabang bangil diberangkatkan menuju Jakarta.

Sampai di Jakarta, mereka menginap di Asrama Haji Pondok Gede. Di tempat itu, mereka latihan lagi. Latihan itu sebagai pemantapan terakhir sebelum pementasan. Sedangkan tujuh orang yang lain mengecek kesiapan di lapangan.

Ketika hari yang ditentukan telah datang, mereka telah siap. Protokoler kepresidenan mewajibkan mereka harus berangkat tepat pukul 05.30 WIB. Kewajiban itu pun dipenuhi. Mereka meluncur ke Gelora Bung Karno dengan dikawal petugas kepolisian.

Selama perjalanan menuju stadion Gelora Bung Karno, pemandangan yang terlihat sungguh di luar dugaan. Kerumunan orang sudah terlihat dari kejauhan. Belum lagi ketika masuk ke dalam, sekitar 300 ribu orang memadati gelanggang terbesar di Indonesia itu.

Murtadji dan yang lain melihat pemandangan begitu takjub. Sebuah panggung telah disediakan panitia bagi mereka. Panggung ini lebih besar dibanding satu panggung yang lain. Ukurannya sekitar 20×30 meter persegi.

Di panggung inilah mereka akan unjuk kebolehan. Sedangkan panggung yang lain untuk tempat OM Soneta dan pertunjukan pencak silat. Dan di antara kedua panggung itu adalah tribun bagi tamu kehormatan, seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, termasuk Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi.

Ishari Bangil tampil sebagai pembuka acara. Mereka mengawalinya dengan Muhud Habibun (Iltiham). Dimana sebagai pimpinan saat itu adalah Ustd Syanafi Arsyad. Semuanya duduk menyanyikan puji-pujian sebagai wujud rasa cinta kasih kepada Rasululllah.

Gemuruh tepuk tangan terdengar ketika penampilan pertama itu selesai. Usai Presiden SBY memberikan sambutan, Ishari Bangil tampil lagi untuk kali kedua. Kali ini mereka harus memaksa Presiden SBY berdiri lagi. Sebab, penampilan itu dilakukan dengan cara berdiri. “Mahallul Qiyam harus dilakukan dengan berdiri. Jadi semua harus berdiri,” kata Murtadji yang juga pengajar Ponpes Salafiyah Putri di Bangil itu.

Ya nabi salam Alaika. Ya Rasul salam alaika. Ya nabi bisalam Alaika. Sholawatullah Alaika. Demikian puji-pujian itu dikumandangkan dengan iringan rebana yang saat itu dikomandani oleh Alm. Ust Rohmad. Selama 15 menit puji-pujian itu berkumandang di Gelora Bung Karno.

Rasa haru menyeruak di hati semua orang yang mendengarkan. “Ada kepercayaan, ketika itu diperdengarkan, maka ruh Nabi Muhammad SAW hadir di majelis itu,” ujar Murtadji.

Selesai acara, rombongan Ishari Bangil diliputi rasa bahagia sekaligus bangga. Mereka bisa tampil maksimal untuk acaranya NU, apalagi disaksikan langsung oleh Presiden. “Saya melihat seluruh personel begitu bahagia. Itulah yang membuat saya senang, karena penampilan kami membuat orang terharu,” kenang Murtadji.
Read More

Asal Mula Terbentuknya ISHARI

 
Ahlussunnah wal jama’ah berpandangan bahwa seni hadrah sebagai sebuah karya seni budaya Islam merupakan media ikatan emosional yang dapat menumbuh-suburkan energi rasi penghormatan dan kecintaan “mahabbah” kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, golongan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah senantiasa berupaya untuk menyebarluaskan dan melestarikan eksistensi seni hadrah agar tidak pernah berhenti di sepanjang jaman, sehingga tidaklah mengherankan apabila keberadaan seni hadrah seringkali diidentikkan sebagai bentuk seni budaya Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Di Indonesia keberadaan dan perkembangan seni hadrah dapat dengan mudah diterima kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini sangat wajar, mengingat mayoritas umat Islam Indonesia adalah menganut ajaran (faham) Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Gairah tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) di tengah – tengah lingkungan masyarakat desa maupun perkotaan, khususnya dikalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), merupakan fenomena dari adanya sebuah kesadaran dan semangat (gairah) untuk menjaga dan memelihara kelestarian keberadaan seni hadrah sebagai bentuk seni budaya Islam.

Dengan semakin berkembangnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) yang lahir dan bermunculan dikalangan warga Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Indonesia, yang tumbuh dengan cepat dan pesatnya, maka dipandang perlu untuk membentuk suatu misi dalam mengembangkan dan melestarikan keberadaan seni hadrah di Indonesia.

Bertitik tolak dari ide dasar tersebut, maka untuk menghimpun keberadaan seni hadrah dibentuklah sebuah wadah organisasi yang diberi nama “Ikatan Seni Hadrah Indonesia” yang struktur organisasinya ditempatkan di lembaga salah satu perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU). Oleh karena itu, maka pada tanggal 15 Rajab 1378H atau bertepatan dengan tanggal 23 Januari 1959, dibentuk dan didirikan Ikatan Seni Hadrah Indonesia atau disingkat ISHARI di Pasuruan – Jawa Timur, yang pembentukan/pendiriannya dimotori oleh KH. Wahab Chasbullah, KH. Syaifuddin Zuhri, KH. Bisri Syamsuri, KH. Agus Muhammad bin Abdur Rochim, KH. Achmad Saichu, dan KH. Idham Cholid. Dan para tokoh Nahdlatul ‘Ulama (NU) tersebut berpandangan bahwa keberadaan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) mempunyai fungsi yang sangat strategis dan diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan atas pengaruh budaya asing yang sistematik masuk ke tengah masyarakat melalui media elektronik.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan ISHARI di tanah air ini telah mengalami pasang surut pengembangan adan aktifitasnya. Hal ini terjadi karena tidak ada pengembangan kreatifitas dan inovasi berkesenian dikalangan pada personil ISHARI itu sendiri, dan disisi lain disebabkan posisi struktur organisasinya yang ada dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama (NU).

Sejalan dengan kehendak untuk menciptakan keseimbangan antara gerak jama’ah dengan jam’iyah maka pada Muktamar NU ke-29 pada tahun 1994 di Cipasung, telah berhasil merubah posisi ISHARI menjadi Badan Otonom. Artinya keberadaan ISHARI yang awalnya hanya ditempatkan sebagai salah satu wadah (departemen) dirubah menjadi organisasi yang berdiri sendiri.

Dengan adanya perubahan status dan fungsi ISHARI menjadi sebuah badan otonom tersebut, tentu akan membawa konsekuensi logis bahwa jama’ah dan jam’iyah ISHARI dituntut untuk melakukan perubahan pola kerja dan sistem berkreatifitas. Disamping itu sangat diperlukan adanya peningkatan kualitas jama’ah dan kualitas pengurusnya. Demikian pula diperlukan adanya program kerja yang mengacu kepada pemantapan posisi ISHARI sebagai badan otonom dan menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.
Read More
Design by Sihabbil Habibi Visit Original Post Islamic2 Template