SELAMAT DATANG & TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

Senin, 30 Januari 2012

Asal Mula Terbentuknya ISHARI

 
Ahlussunnah wal jama’ah berpandangan bahwa seni hadrah sebagai sebuah karya seni budaya Islam merupakan media ikatan emosional yang dapat menumbuh-suburkan energi rasi penghormatan dan kecintaan “mahabbah” kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, golongan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah senantiasa berupaya untuk menyebarluaskan dan melestarikan eksistensi seni hadrah agar tidak pernah berhenti di sepanjang jaman, sehingga tidaklah mengherankan apabila keberadaan seni hadrah seringkali diidentikkan sebagai bentuk seni budaya Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Di Indonesia keberadaan dan perkembangan seni hadrah dapat dengan mudah diterima kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini sangat wajar, mengingat mayoritas umat Islam Indonesia adalah menganut ajaran (faham) Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Gairah tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) di tengah – tengah lingkungan masyarakat desa maupun perkotaan, khususnya dikalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), merupakan fenomena dari adanya sebuah kesadaran dan semangat (gairah) untuk menjaga dan memelihara kelestarian keberadaan seni hadrah sebagai bentuk seni budaya Islam.

Dengan semakin berkembangnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) yang lahir dan bermunculan dikalangan warga Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Indonesia, yang tumbuh dengan cepat dan pesatnya, maka dipandang perlu untuk membentuk suatu misi dalam mengembangkan dan melestarikan keberadaan seni hadrah di Indonesia.

Bertitik tolak dari ide dasar tersebut, maka untuk menghimpun keberadaan seni hadrah dibentuklah sebuah wadah organisasi yang diberi nama “Ikatan Seni Hadrah Indonesia” yang struktur organisasinya ditempatkan di lembaga salah satu perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU). Oleh karena itu, maka pada tanggal 15 Rajab 1378H atau bertepatan dengan tanggal 23 Januari 1959, dibentuk dan didirikan Ikatan Seni Hadrah Indonesia atau disingkat ISHARI di Pasuruan – Jawa Timur, yang pembentukan/pendiriannya dimotori oleh KH. Wahab Chasbullah, KH. Syaifuddin Zuhri, KH. Bisri Syamsuri, KH. Agus Muhammad bin Abdur Rochim, KH. Achmad Saichu, dan KH. Idham Cholid. Dan para tokoh Nahdlatul ‘Ulama (NU) tersebut berpandangan bahwa keberadaan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) mempunyai fungsi yang sangat strategis dan diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan atas pengaruh budaya asing yang sistematik masuk ke tengah masyarakat melalui media elektronik.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan ISHARI di tanah air ini telah mengalami pasang surut pengembangan adan aktifitasnya. Hal ini terjadi karena tidak ada pengembangan kreatifitas dan inovasi berkesenian dikalangan pada personil ISHARI itu sendiri, dan disisi lain disebabkan posisi struktur organisasinya yang ada dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama (NU).

Sejalan dengan kehendak untuk menciptakan keseimbangan antara gerak jama’ah dengan jam’iyah maka pada Muktamar NU ke-29 pada tahun 1994 di Cipasung, telah berhasil merubah posisi ISHARI menjadi Badan Otonom. Artinya keberadaan ISHARI yang awalnya hanya ditempatkan sebagai salah satu wadah (departemen) dirubah menjadi organisasi yang berdiri sendiri.

Dengan adanya perubahan status dan fungsi ISHARI menjadi sebuah badan otonom tersebut, tentu akan membawa konsekuensi logis bahwa jama’ah dan jam’iyah ISHARI dituntut untuk melakukan perubahan pola kerja dan sistem berkreatifitas. Disamping itu sangat diperlukan adanya peningkatan kualitas jama’ah dan kualitas pengurusnya. Demikian pula diperlukan adanya program kerja yang mengacu kepada pemantapan posisi ISHARI sebagai badan otonom dan menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.
 
Ahlussunnah wal jama’ah berpandangan bahwa seni hadrah sebagai sebuah karya seni budaya Islam merupakan media ikatan emosional yang dapat menumbuh-suburkan energi rasi penghormatan dan kecintaan “mahabbah” kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karenanya, golongan Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah senantiasa berupaya untuk menyebarluaskan dan melestarikan eksistensi seni hadrah agar tidak pernah berhenti di sepanjang jaman, sehingga tidaklah mengherankan apabila keberadaan seni hadrah seringkali diidentikkan sebagai bentuk seni budaya Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Di Indonesia keberadaan dan perkembangan seni hadrah dapat dengan mudah diterima kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Hal ini sangat wajar, mengingat mayoritas umat Islam Indonesia adalah menganut ajaran (faham) Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Gairah tumbuhnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) di tengah – tengah lingkungan masyarakat desa maupun perkotaan, khususnya dikalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), merupakan fenomena dari adanya sebuah kesadaran dan semangat (gairah) untuk menjaga dan memelihara kelestarian keberadaan seni hadrah sebagai bentuk seni budaya Islam.

Dengan semakin berkembangnya perkumpulan-perkumpulan seni hadrah (jam’iyah seni hadrah) yang lahir dan bermunculan dikalangan warga Nahdlatul ‘Ulama (NU) di Indonesia, yang tumbuh dengan cepat dan pesatnya, maka dipandang perlu untuk membentuk suatu misi dalam mengembangkan dan melestarikan keberadaan seni hadrah di Indonesia.

Bertitik tolak dari ide dasar tersebut, maka untuk menghimpun keberadaan seni hadrah dibentuklah sebuah wadah organisasi yang diberi nama “Ikatan Seni Hadrah Indonesia” yang struktur organisasinya ditempatkan di lembaga salah satu perangkat organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU). Oleh karena itu, maka pada tanggal 15 Rajab 1378H atau bertepatan dengan tanggal 23 Januari 1959, dibentuk dan didirikan Ikatan Seni Hadrah Indonesia atau disingkat ISHARI di Pasuruan – Jawa Timur, yang pembentukan/pendiriannya dimotori oleh KH. Wahab Chasbullah, KH. Syaifuddin Zuhri, KH. Bisri Syamsuri, KH. Agus Muhammad bin Abdur Rochim, KH. Achmad Saichu, dan KH. Idham Cholid. Dan para tokoh Nahdlatul ‘Ulama (NU) tersebut berpandangan bahwa keberadaan Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) mempunyai fungsi yang sangat strategis dan diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan atas pengaruh budaya asing yang sistematik masuk ke tengah masyarakat melalui media elektronik.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan ISHARI di tanah air ini telah mengalami pasang surut pengembangan adan aktifitasnya. Hal ini terjadi karena tidak ada pengembangan kreatifitas dan inovasi berkesenian dikalangan pada personil ISHARI itu sendiri, dan disisi lain disebabkan posisi struktur organisasinya yang ada dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama (NU).

Sejalan dengan kehendak untuk menciptakan keseimbangan antara gerak jama’ah dengan jam’iyah maka pada Muktamar NU ke-29 pada tahun 1994 di Cipasung, telah berhasil merubah posisi ISHARI menjadi Badan Otonom. Artinya keberadaan ISHARI yang awalnya hanya ditempatkan sebagai salah satu wadah (departemen) dirubah menjadi organisasi yang berdiri sendiri.

Dengan adanya perubahan status dan fungsi ISHARI menjadi sebuah badan otonom tersebut, tentu akan membawa konsekuensi logis bahwa jama’ah dan jam’iyah ISHARI dituntut untuk melakukan perubahan pola kerja dan sistem berkreatifitas. Disamping itu sangat diperlukan adanya peningkatan kualitas jama’ah dan kualitas pengurusnya. Demikian pula diperlukan adanya program kerja yang mengacu kepada pemantapan posisi ISHARI sebagai badan otonom dan menyesuaikan dengan dinamika masyarakat.

2 komentar:

Sana Ildaf mengatakan...

"Kathah"(red;Banyak) Yang Belum Tau ISHARI Mas Siiiiip............

HABBIL TKJ mengatakan...

Alhamdulillah....

Posting Komentar

Design by Sihabbil Habibi Visit Original Post Islamic2 Template